Friday 18 November 2016

TEMAN BAIK

ilustrasi-cerita-anak-teman-baik

Cerita Anak

Pulang sekolah hari itu, mata Rara basah dan hidungnya mampet karena sebelumnya ia menangis tersedu-sedu. Sebetulnya Rara tidak ingin ibunya tahu. Tetapi sulit menyembunyikan matanya yang merah dan suaranya yang jadi sengau akibat menangis. Belum lagi seragam sekolahnya yang basah dan kotor. 

Dengan suaranya yang lembut ibu berkata,

“Rara, ibu buatkan masakan kesukaanmu siang ini. Ayo kita makan siang.”


Sambil menyantap makan siangnya, mengalirlah cerita dari Rara.

Sewaktu pulang sekolah, seperti biasa Rara pulang berjalan kaki. Sekolahnya tidak terletak jauh sehingga bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Hari itu sahabatnya, Ema, yang rumahnya berdekatan dengan Rara, tidak masuk sekolah. Karenanya Rara pulang sendirian.

Walaupun sudah hati-hati, masih saja Rara berpapasan dengan Gilang. Rara mencoba menghindar. Tetapi, melihat Rara sendirian, Gilang langsung saja menjailinya.

Rara sebal sekali sama Gilang. Meskipun mereka teman sekolah, Gilang bandel sekali dan sangat suka mengganggunya. Kadang-kadang Gilang mencoreti buku Rara. Menyembunyikan pensilnya. Menarik kuncir ekor kuda Rara. Atau menjulurkan lidahnya sambil mengatai Rara jelek.

Dan hari ini, Gilang benar-benar keterlaluan. Biasanya Rara hanya sebatas cemberut dan mengomel sendirian. Namun hari ini, Rara sampai menangis dibuatnya.

Dengan meniru suara gonggongan anjing yang meyakinkan, Gilang mengejutkan Rara. Karena kaget, Rara pun terlonjak. Sayangnya Rara terlalu dekat berdiri dengan parit. Alhasil ia terjatuh ke sana. Mulanya hanya kakinya yang terendam di parit. Namun Gilang belum selesai sampai di situ saja. Ia melempari Rara dengan dedaunan kering. Karena kalang kabut, Rara terpeleset. Dan ia pun tercebur sepenuhnya di parit. Tas sekolah dan buku di dalamnya tak dapat diselamatkan.

Ibu mendengarkan cerita Rara dengan penuh perhatian. Setelah Rara selesai bercerita, selesai pula santapan siang Rara. Dengan lembut ibu bertanya apakah Rara ingin tambah lagi.

“Terima kasih, sudah cukup, Bu,” jawab Rara. Setelah menyantap masakan ibu yang dimasak dengan kasih sayang, perasaan Rara menjadi lebih baik.

Ibu mengacak pelan rambut Rara. Lalu ia bertanya,

“Rara jengkel, ya, sama kelakuan Gilang?”

Rara mengangguk pelan.

“Rara tahu kenapa Gilang suka berbuat begitu?” tanya ibu lagi.

“Karena Gilang nakal. Dia senang kalau melihat Rara susah,” jawab Rara sambil merengut.

“Maksudnya, Gilang sering mengganggu Rara, karena Gilang tidak suka sama Rara?”

Rara mengangguk lagi.

Pertanyaan ibu berikutnya membuat Rara sedikit terperanjat. “Apa Rara punya salah sama Gilang?”

“Ng… rasa-rasanya tidak pernah,” jawab Rara. Rasanya Rara tidak pernah nakal sama Gilang. Tetapi, siapa tahu saja secara tak sengaja ia pernah menyakiti Gilang.

Dan ucapan ibu selanjutnya, betul-betul membuat Rara terperangah.

“Barangkali, alasan Gilang suka mengganggu Rara, karena sebetulnya Gilang suka sama Rara. Gilang ingin jadi sahabat Rara.”

Mata Rara terbelalak. Menjadi sahabat? Dengan cara membuat Rara kecemplung di parit? Rasanya tidak masuk akal.

“Itu mungkin saja,” kata ibu lagi. “Rara kan juara kelas. Sudah itu Rara juga pandai membuat origami.”
Rara tidak menyahut.

“Ibu punya ide,” kata ibu akhirnya. Matanya berbinar-binar jenaka.

Rara mendengarkan dengan cermat penjelasan ibu. Setelah selesai, Rara tidak tahu apakah cara yang ibu berikan akan berhasil. Namun ibu tersenyum lebar sambil mengangguk mantap.

“Tidak ada salahnya mencoba,” kata ibu.

Keesokan harinya sepulang sekolah, Rara mengumpulkan keberaniannya. Sebelum keluar kelas, Rara menghampiri Gilang. Karena hal ini belum pernah terjadi, Gilang kaget tiba-tiba Rara mendekatinya lalu menyapanya.

“Gilang,” panggil Rara.

Gilang teringat kenakalannya kemarin pada Rara. Karena merasa bersalah, dia langsung memasang wajah galak dan sikap menantang.

“Apa?!” ujar Gilang ketus.

Masa sih, yang begini ini mau bersahabat denganku? Rara bertanya-tanya dalam hati. Namun, benar atau tidaknya hal itu, ia tetap harus melakukan sesuatu. Ia tidak boleh membiarkan Gilang mengganggunya terus.

“Nanti sore aku sama Ema mau belajar bikin origami bentuk baru di rumahku. Kamu mau ikut?”

Gilang terpelongo mendengar kata-kata Rara barusan. Ia kurang mengerti, apakah ia salah dengar atau tidak.

“Nanti sore jam empat ke rumahku, ya,” lanjut Rara tanpa menunggu jawaban Gilang. “Jangan lupa bawa kertas origaminya.”

Rara merasa lega setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu. Ia tidak lagi merasa takut pada Gilang. Ia juga tidak merasa benci pada Gilang. Rara berharap, ide ibu agar Rara yang memulai persahabatan dengan Gilang, dapat berjalan dengan lancar.

Sore harinya, Rara dan Ema sedang bersenang-senang dengan kertas origami mereka. Gilang belum juga datang. Jam sudah menunjukkan pukul empat lewat dua puluh lima menit.

“Sepertinya Gilang tidak bakalan datang,” kata Ema.

Rara juga merasa begitu. Ia agak sedih. Nampaknya usahanya tidak berjalan sesuai rencana.

Hingga akhirnya Ema pulang, Gilang tidak juga muncul. Rara jadi agak sebal. Padahal dia berniat baik pada Gilang. Dan selama ini Gilang yang selalu berbuat nakal padanya.

Ibu melihat raut muka Rara yang cemberut. Katanya,

“Mungkin Gilang malu. Selama ini dia suka mengganggu Rara. Dia jadi tersentuh dengan kebaikan Rara.”

Rara tidak terlalu mengerti dengan ucapan ibu.

“Besok apa yang harus Rara lakukan?” tanya Rara kemudian.

Sambil tersenyun ibu menjawab, “Bersikap sebagaimana seorang teman.”

Keesokan harinya di sekolah, tidak ada hal istimewa yang terjadi. Dan hari-hari berikutnya juga tidak berbeda. Hanya saja, sekarang Gilang tidak pernah mengganggu Rara lagi. Rencana untuk berteman dengan Gilang nampaknya tidak berhasil. Tetapi Rara senang karena Gilang juga tidak pernah menjailinya lagi.

Suatu malam ketika Rara sedang santai membaca buku cerita favoritnya, ibu mendekatinya. Dan tanpa terencana, mereka akhirnya mengobrol tentang kejadian Rara dan kenakalan Gilang.

“Rara tidak berhasil berteman dengan Gilang. Tapi setidaknya ia tidak lagi suka mengganggu Rara,” kata Rara.

“Tidak berteman? Ibu rasa, Rara dan Gilang sudah berteman baik,” sahut ibu.

“Benarkah?” tanya Rara tak percaya. Mengobrol dengan Gilang pun tidak pernah. Bagaimana bisa disebut berteman baik?

“Berteman baik bukan berarti harus bermain bersama-sama. Atau kemana-mana selalu bersama. Berteman baik bisa berarti tidak mengganggu atau menyakiti satu sama lain, memaafkan bila ada yang berbuat salah, tidak saling iri hati, menghormati perbedaan. Dan yang sangat penting, mendoakan satu sama lain,” kata ibu.
Rara merenungkan kata-kata ibu barusan.

Ibu melanjutkan kembali. “Walaupun Rara dan Gilang tidak lantas menjadi kawan sepermainan, tapi coba lihat Gilang sekarang. Dia tidak mau mengganggu Rara lagi. Coba tebak kenapa?”

“Kenapa?” Rara balik bertanya.

“Karena Rara sekarang adalah sahabatnya. Gilang tidak mau menyakiti sahabatnya sendiri,” jawab ibu.
Rara tersenyum mendengarnya. Ia lalu merangkul ibu erat dan berbisik, “Terima kasih, Bu.”


Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment