Saturday 19 April 2014

POHON KERSEN

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Cerita Anak

PADA suatu sore yang cerah, Ayu bersama adiknya Ade dan teman mereka, Nanda, pergi bermain ke luar. Mula-mula mereka berjalan saja menyusuri jalan di depan deretan rumah di desa mereka. Ketiganya akhirnya sampai di taman. Tetapi tidak ada yang bisa mereka kerjakan di sana. Tak ada anak lain yang sedang bermain di sana. Yang ada hanya sapi-sapi. Berkeliaran sambil mencari rumput yang bisa dimamah. Karenanya taman itu disebut Taman Sapi.

Sebetulnya bukan betul-betul taman. Anak-anak saja yang suka menyebutnya demikian. Dan karena hampir setiap hari mereka melihat sapi-sapi itu, jadinya sudah tidak menarik lagi.

Karena tidak tahu harus bermain apa, mereka kembali menyusuri jalan. Memandangi rumah-rumah tak berpagar dengan bentuk beraneka ragam. Lalu Ayu melihat sesuatu.

“Lihat! Pohon kersen itu berbuah!” tunjuknya dengan gembira.

Buah kersen berbentuk kecil, kira-kira seukuran kacang atom. Kalau sudah ranum warnanya merah cerah. Dan rasanya manis sekali. Anak-anak juga sering menyebutnya dengan nama seri atau ceri.

Segera ketiganya menghampiri pohon itu. Mendongak senang sambil mencari-cari buah yang sudah matang.
“Wah, buahnya banyak. Yuk, kita panjat pohonnya,” ajak Nanda. Ayu mengangguk setuju.

Karena Ade masih terlalu kecil, ia menunggu di bawah sementara Ayu dan Nanda memanjat pohon kersen dan mengumpulkan buahnya.

Pohon kersen itu lebat sekali. Seperti tak habis-habisnya padahal sudah banyak yang mereka petik. Ayu dan Nanda mengantongi buah kersen yang kecil-kecil itu ke dalam saku baju mereka. Ade menanti dengan riang di bawah.

“Kak Ayu, sebelah situ! Buahnya banyak!” kata Ade sambil menunjuk ke dahan yang berbuah sangat banyak.

Ayu dan Nanda baru berhenti memetik buah saat saku mereka sudah tidak muat menampung lagi. Keduanya pun memanjat turun dengan buah kersen hasil petikan mereka memenuhi saku baju mereka.

Kemudian mereka mencari tempat yang agak lapang dan mulai menghitung jumlah buah kersen yang berhasil mereka dapat. Ketika selesai menghitung, ternyata mereka telah memetik dua ratus butir buah kersen. Ketiganya senang sekali. Setelah itu mereka mulai membaginya. Ketiganya duduk dengan rok terbentang lebar. Buah kersen yang dibagi diletakkan di atas rok mereka. Ayu membaginya satu-satu.

“Satu untukku, satu untuk Ade, satu untuk Nanda,” kata Ayu, meletakkan satu per satu buah kersen ke rok masing-masing.

Ternyata buahnya tersisa dua butir. Sementara mereka bertiga. Akhirnya Ayu memutuskan, karena dia dan Nanda yang memanjat pohon, maka buah yang terisa itu akan dibagikan padanya dan Nanda, masing-masing satu.

Baru saja ketiganya akan memakan buah kersen itu, tiba-tiba muncul Intan, teman mereka. Ketika melihat setumpuk buah kersen di rok mereka, Intan langsung berkata dengan galak,

“Apa itu?” tanya Intan.

“Buah kersen,” jawab Ayu, agak bingung. Rasanya tidak mungkin Intan tidak tahu.

“Darimana kalian mendapatkannya?”

“Dari pohon itu,” jawab Ayu sambil menunjuk pohon kersen yang tadi ia panjat bersama Nanda.

“Itu pohonku!” tukas Intan. “Kembalikan buah kersenku!”

Ayu, Ade dan Nanda bengong.

Intan berlari masuk ke rumah. Tak berapa lama kemudian ia keluar lagi sambil membawa baskom kecil warna merah jambu.

“Taruh buah kersen itu di sini,” kata Intan, sambil menyodorkan baskomnya.

Ayu tidak rela menyerahkan buah kersen yang sudah susah-susah ia petik.

“Kenapa? Kami kan sudah susah-susah memanjat,” protes Ayu.

“Pohon kersen ini kan tumbuh di depan rumahku. Ini pohonku. Berarti buahnya juga milikku. Kalian tidak boleh mengambil begitu saja,” tukas Intan.

“Tapi—“ Nanda juga hendak memprotes. Tetapi Intan memaksa dan mulai mengambil buah-buah itu dari rok mereka.

Setelah semua buah berhasil dikumpulkan, Intan berlari masuk ke rumah sambil membawa baskom merah jambu berisi buah-buah kersen tersebut.

“Kak Intan jahat. Kenapa buah kita diambil semua?” sungut Ade.

Ayu, Ade dan Nanda sekarang duduk merengut memandangi rok mereka yang jadi kotor karena getah kersen. Padahal belum satu butir buah kersen pun yang mereka nikmati.

Ketiganya lalu bangkit dan melangkah menyusuri jalan kembali. Hari masih sore dan mereka bermaksud mencari hal lain yang bisa mereka kerjakan untuk menghabiskan sisa sore.

Sebelum benar-benar pergi, Ayu menoleh ke pohon kersen itu. Pohon itu berdiri di halaman depan rumah Intan. Itu memang pohon kersen milik Intan. Ayu mendesah lalu menyusul Ade dan Nanda yang sudah berjalan lebih dulu.

Karena baru saja memanjat pohon, Ayu jadi kehausan. Dan sekali lagi matanya menangkap sesuatu.

“Lihat! Pohon jambu air itu berbuah!” serunya.

Buah jambunya besar dan segar. Warnanya merah kecoklatan. Kelihatan sangat menggiurkan. Ayu tergoda untuk memetiknya. Baru selangkah ia maju dan langsung menahan diri.

“Kayaknya Intan benar. Kita tadi memetik pohonnya tanpa minta izin,” kata Ayu.

“Berarti kita tadi mencuri, ya, Kak?” tanya Ade polos.

“Ya, ampun, untung tidak jadi kita makan, ya,” sahut Nanda. Tiba-tiba merasa bersyukur Intan mengambil semua jerih payah mereka tadi.

Anak-anak itu lalu menoleh ke arah si pohon jambu. Buah-buahnya begitu menarik perhatian. Ketiganya menelan ludah, ngiler.

Kemudian tiba-tiba muncul Yuni, teman mereka yang lain. Ayu mengamati pohon jambu air itu berada di halaman depan rumah Yuni.

“Ini  pohon jambu air milikmu, ya?” tanya Ayu.

“Benar,” jawab Yuni.

“Mmm…. boleh tidak kami minta buah jambunya?” tanya Ayu lagi.

Yuni mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Yuk, kita panjat bareng-bareng,” ajak Yuni.

“Wah, terima kasih,” kata Ayu senang. Ternyata kalau meminta izin dulu, malah jadi lebih menyenangkan.

Ayu, Yuni dan Nanda pun bersama-sama memanjat pohon jambu air itu. Ade seperti biasa menungu di bawah. Ayu memetik buah jambu dengan hati ringan. Tentu saja, karena kali ini ia sudah minta izin dahulu. Dan ia juga sudah diizinkan oleh yang punya. Jadi tidak khawatir akan ada baskom merah jambu lagi yang akan mengambil buah hasil petikannya.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment