Saturday 15 June 2013

KUMO & MATAHARI KECIL

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Dongeng

Panas udara begitu menyengat. Dengan kepala yang terasa sedikit pening karena panas yang menyentak, Kumo melompat turun dari tempat tidur. Mengambil tikar yang disimpan di gudang, lalu menggelarnya di lantai.

Sambil merebahkan diri di atas tikar tersebut, Kumo menatap langit-langit di atasnya. Sedetik saja. Kumo langsung bangkit. Ditariknya tikar di bawahnya, dan ia pun merebahkan tubuh di atas lantai, tak beralaskan apapun.

Ini bukan siang hari, kenapa panasnya begitu menyengat? Kumo membatin. Sementara keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.

Tidur di lantai pun tidak membuatnya merasa lebih baik. Udara panas dari lantai seperti mengigit-gigit punggungnya.

"Ini tidak wajar!" desah Kumo. Ia bangkit berdiri. Sesuatu tentu sedang terjadi. Adakah manusia sudah begitu dahsyat merusak alam? Agak tergesa-gesa Kumo membuka jendela kamar tidurnya. Dan seketika Kumo ternganga keheranan.

"Matahari!" jeritnya tertahan. Eh, tunggu dulu. Matahari tidak pernah seperti itu... 

Sesuatu yang bersinar yang sekarang berada berhadap-hadapan dengan Kumo, cahayanya seperti matahari. Namun itu jelas bukan matahari. Matahari tidak pernah sekecil dan sedekat itu. Dengan jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat, Kumo perlahan menjulurkan tangannya yang agak gemetar. Rasa panas terasa semakin menyengat. Kumo cemas kulitnya terbakar. Namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.

Sebelum tangan Kumo mencapai cahaya itu, ia dikejutkan oleh sebuah suara. Kumo tersentak kaget dan spontan menarik kembali tangannya.

"Aku memang matahari," cahaya itu berbicara. "Jangan menatapku dengan mulut terbuka begitu, bikin tersinggung saja. Aku ini memang matahari, meski aku sangat kecil."

"T-t-t-t-t-t-tapi...." Kumo terbata.

"Jangan khawatir."

'B-b-bukannya matahari itu seharusnya--"

"Menerangi dunia," potong Matahari cepat. Kumo masih saja ternganga. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."

"Lalu...." Kumo berusaha keras menjadikan apa yang sedang dihadapinya saat ini masuk akal.

"Lalu apa?" tanya Matahari. Kemudian sambungnya, "Sebetulnya maksud kedatanganku kemari, aku hanya ingin menyampaikan keluh-kesahku."

"K-k-k-k-kkeluh-kesah?" ulang Kumo, ragu dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Iya. Meskipun aku ini matahari, besar dan menerangi dunia, tetapi aku punya... sedikit kegalauan," kata Matahari, suaranya terdengar malu-malu.

Ini sungguh aneh. Kumo sampai berpikir bahwa dia sudah gila. Bagaimana bisa matahari saat ini sedang curhat dengannya?

"Aku... aku hanya ingin disayangi."

Tenggorokan Kumo tiba-tiba tercekat. Apa-apaan ini?

"Tidak! Jangan berprasangka buruk padaku. Sebetulnya bukan aku saja. Teman-temanku juga begitu."

"Teman-teman?" ulang Kumo tak yakin.

"Iya. Teman-temanku. Laut, tanah, pohon, awan... kami semua ingin disayangi."

"Maksudmu?" tanya Kumo lambat-lambat. Dia belum menangkap maksud perkataan Matahari.

"Kami semua hanya ingin disayangi. Jangan bermusuhan dengan kami. Aku tahu kamu manusia yang baik. Aku mohon, sebarkanlah kebaikanmu pada manusia yang lain. Agar kalian semua sama-sama dapat menyayangi kami"

"Kenapa kamu sampai berkata begitu?"

"Aku hanya ingin kebaikan. Aku sedih melihat temanku Laut, sampai meluap marah pada kalian. Aku juga sedih ketika melihat Gunung meletuskan amarahnya. Sayangilah kami. Seperti kami menyayangi kalian."

Kali ini Kumo tidak bisa berbicara sama sekali. Pikirannya campur aduk.

"Besok pagi aku akan bersinar kembali. Bersahabatlah dengan kami."

Perlahan Matahari memudarkan cahayanya, dan akhirnya menghilang sama sekali. Tinggallah kegelapan yang selayaknya sedang menyelimuti malam.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid



No comments:

Post a Comment